Munas LDII VII: pendidikan agama pemersatu bangsa

Mengapa bangsa ini menjadi mudah marah, lalu melakukan amuk, atau tak peduli dengan sesama dengan melakukan korupsi. Pendidikan Indonesia seperti gagal membentuk moral bangsa.

Dengan mayoritas berpenduduk Islam, Indonesia justru gagal dalam meraih tujuan bersama. Hal ini bukan lantaran ideologi, melainkan pendidikan gagal meletakkan nilai-nilai moral, meski pendidikan agama sudah sejak dini dilakukan di sekolah-sekolah dasar.

Pesan  agama  yang sangat mendasar harus ditanamkan dalam kehidupan umat pemeluknya, baik itu dalam kehidupan individu pribadi tersebut maupun bersama. Mengapa pesan agama harus ditanamkan dalam kehidupan?

“Sebab dengan adanya pesan agama yang diajarkan melalui pendidikan agama di sekolah-sekolah maupun di lingkup forum dalam masyarakat Indonesia dapat memunculkan solidaritas di antara umat beragama,” ujar Malik Fajar ketua PP Muhammadiyah dalam pengarahannya di Munas LDII VII.

Malik Fajar memaparkankan praktek pendidikan agama yang sebenarnya haruslah berbentuk pendidikan yang dapat membangkitkan rasa beragama, intuisi bukan sekedar mengajar, bukan terletak berapa banyak jam pengajarannya, juga bukan jumlah ujian teori yang harus diujikan. Namun hal itu harus didukung kualitas guru yang bagus.

“Sementara masih ada guru agama yang tidak meyakinkan, malas mengajar, ngantukan dan sebagainya,” kata Malik Fajar. Menurutnya pendidikan agama melibatkan jiwa sang pendidik, untuk mengajak generasi bangsa ini tak sekedar mengaku beragama, tapi  membawa agama itu di manapun berada dan menunjukkan dalam perilaku sehari-hari dan perilaku dalam bermasyarakat.

“Kita tidak dikatakan serius beragama jika tidak ada komitmen menjalin solidaritas sosial, agama itu bukan sekedar ibadah solat, puasa saja,” lanjut Malik Fajar. Solidaritas itu tidak semata-mata terlihat dari fisik tapi ia juga menyentuh batinah, salah satu contohnya silaturrahim. Dengan seringnya kita menyambung tali persaudaraan maka akan semakin kuat solidaritas yang terbina.

“Nyatanya sekarang tak begitu, Seorang anak tidak pulang kampung ke rumah orangtuanya, di hari lebaran solusinya cukup dengan sms, murid pada gurunya minta izin tidak masuk, lewat sms. Ini menunjukkan kurangnya silaturahim yang melibatkan dua arah,” ujarnya.

Karena itu agama akan merosot bila tidak menjalin hubungan horizontal dan vertikal atau istilahnya hablumminallahi wahablumminnannas. Yang menciptakan dua dimensi yang mengikat diri dalam beragama, yaitu ikatan pada sang khalik sebagai pencipta dan penguasa semesta dan ikatan pada sesama manusia juga kepada alam raya.

Lalu apa yang menjadi dasar membangun rasa solidaritas sosial? Yaitu dasar ketuhanan yang di implementasikan dalam berbagai versi, nilai-nilai ketuhanan yang bisa mengalir pada nilai kemanusiaan  akan lahir amal solih. Agama islam ini satu, tidak ada jarak antara pendidikan agama dalam masyarakat dengan pendidikan di rumah, tidak ada sekat-sekat sehingga lahirlah pranata-pranata di Indonesia seperti LDII, Muhammadiyah, ataupun NU. Semua itu hanyalah sebagai institusi yang memberikan lingkungan kondusif sehingga dapat menumbuhkan solidaritas dalam beragama.

Tinggalkan komentar